PERJANJIAN SESAT
Gelisah makin mengguncang jiwa Samsul. Pandemi covid-19 makin mengharu birukan kehidupannya. Keputusan perusahaan menutup produksi, berujung mata pencahariannya tersumbat pula. Keputusasaan menyusup kian dalam di benak lelaki ini, ketika istrinya menuntut uang belanja dan tangis anaknya meminta dibelikan jajanan. Samsul akhirnya menggadaikan imannya, terjebak dalam kemusyrikan. Kemiskinan membuat siksa berkepanjangan, membuat Samsul rela melakukan ritual sesat. Satu keinginannya, segera lepas dari beban kemiskinan. Ia tidak lagi menggunakan akal sehat, tidak peduli dengan sesaji sebagai syarat menjadikan hidup berkecukupan.
Malam bulan purnama yang ia tunggu telah tiba. Samsul malam itu menerobos hutan, kemudian menyusuri sungai di bawah cahya bulan purnama. Ia mengikuti petunjuk dukun, yang didatangi beberapa waktu sebelumnya. Licin dan tajam bebatuan tidak dirasakan lagi, tekad dan kemauan telah bulat. Di atas bebatuan di tengah sungai, Samsul duduk bersila, tanpa sehelai benang menempel ditubuh, melakukan ritual “semedi”. Menjelang subuh terlihat olehnya cahaya kemerahan melesat dan hampir saja menerjang kepalanya. Entah apa yang terjadi, andai tidak berkelit menghindar. Cahaya itu jatuh tidak jauh, tepat di batuan besar yang dituahkan para dukun dan pelaku ritual lainnya. Cahaya itu kemudian meredup dan hilang, seiring kemudian terlihat “keris luk telu”. Samsul menyatukan jemarinya di depan dada dan menundukkan kepala memberi isyarat penghormatan. Hadirnya benda itu merupakan pertanda keberhasilan lelaku ritual Samsul diterima dan membawa hasil.
Saat berdiri berkehendak mengambil keris itu, sekelebat bayang hitam datang. “Sebelum kamu mengambil pusaka itu, perhatikan beberapa hal yang harus kamu penuhi, ” suara itu membuat berkidik tengkuk Samsul. “Ketahuilah, benda itu akan merubah nasibmu. Mulailah membuka warung kopi, akan ramai pembeli dan kamu akan kaya raya. Besok tengah malam, akan ada orang yang datang mengantar uang kerumahmu. Orang itu adalah jelmaan pasukanku. Gunakan uang itu untuk modal usaha warung kopi.” lanjut suara dari bayang hitam tinggi besar yang buat Samsul makin merinding. “Dan ingat tidak ada yang cuma-cuma, setiap tiga bulan purnama aku akan ambil nyawa dari keluargamu. Buatlah kamar khusus untuk ritual persembahanmu dan sebut nama ruh yang kamu persembahkan untukku. Ambillah pusaka itu kalau setuju, dan kalau keberatan yang saya syaratkan, pulang lah.” Tanpa pikir panjang, Samsul menyepakati perjanjian tersebut. Seiring berjalannya waktu, kehidupan Samsul berubah drastis. Ia menjadi orang terkaya di kampung. Warkopnya berkembang pesat dan selalu ramai pengunjung, bahkan membuka beberapa cabang. Di titik tertinggi kekayaannya, Samsul mengalami stres berat. Orang yang ia korbankan tidak terhitung lagi dari keluarganya. Kini tinggal tersisa istri tercintanya. Sebuah pilihan yang berat, ia mulai menyadari bahwa kekayaan yang ia miliki tiada artinya dengan kehilangan orang yang dicintainya. Hidupnya berakhir sungguh tragis, gejolak jiwa menghantarkan dirinya bergelimang darah bersanding keris di kamar ritualnya.
Mojokerto, 16/6/2020