PELANGI CINTA
Masa-masa indah berlalu seiring pelangi cinta kehilangan aneka cahayanya. Rasa itulah yang kini kurasakan. Semenjak keputusanku melanjutkan studi ke negeri kanguru, harus kutinggalkan bayang dan kenangan bersama Bram. Tanpa terasa dua tahun waktu berlalu, jalinan cinta berjalan dalam jarak jauh. Upaya sudah aku lakukan untuk mempertahankan kesetiaan dan menumbuhkan bunga-bunga kasih, walau tidak lagi dekat dengannya. Ternyata kini makin berat bagiku mengambil sikap atas keinginan orang tua Bram. Tiga malam yang lalu menghubungiku via video call, menginginkan aku segera minikah dengan Bram. Aku tidak mampu mengambil keputusan dan minta waktu mempertimbangkannya.
Memang tidaklah mudah menempuh study di negeri rantau, jauh dari orang tua dengan status masih belum bersuami. Banyak godaan yang harus aku lalui, bahkan banyak cogan yang harus aku tolak cintanya. Bagiku kesetiaan itu suci dan bermartabat. Aku menginginkan Bram akan menjadi imam bagiku dan anak-anakku, tapi tidak secepat sebagaimana kehendak orang tua Bram. Study harus tuntas dulu, aku tidak mau mengecewakan orang tua ku.
Bram itu terlalu baik, penuh tanggung jawab, pengertian dan kasih sayang. Dia tidak keberatan aku selesaikan study, bahkan banyak memberikan motivasi untuk selalu berbuat terbaik untuk masa depan. Tapi malam itu sungguh Bram yang ku kenal, telah berubah 360 derajat. Ku baca pesannya di gawai yang kupegang dengan lengan yang gemetar dan rapuh, serapuh pendirian Bram. “Ningsih sayangku, maafkan aku. Pelangi cinta kita yang indah itu harus sirna bersama panas mentari. Aku terpaksa harus menikahi wanita yang tidak ada rasa cinta di hatiku. Maaf, aku harus mengikuti keinginan orang tuaku….”. Masih beberapa kalimat yang tidak mampu kubaca, terlalu gelap dan bumi seakan berputar. Kuhempaskan tubuhku dengan keras ke sofa, seiring sirnanya pelangi cinta yang kulukis bersama Bram.
Mojokerto, 8/9/2020