AIR MATA DARAH
Lalu lalang langkah dan roda kendaraan tidak lagi terhitung lewat di depannya. Keriput dan guratan di wajah adalah lukisan kerasnya lintasan hidup mbah Painem yang penuh perjuangan. Sudah puluhan tahun menjajakan sawo dagangannya di pinggir jalan sudut pasar. Bagai daya magnit yang sangat kuat menarikku untuk menghampirinya.
Tergetar juga mendengar pahit getir kehidupannya. Lima anak dihidupi tanpa suami sejak 40 tahun lalu. Sawo-sawo yang tersusun rapi di hadapannya adalah sahabat dan saksi air mata darah mbah Painem.
Kusodorkan uang seratus ribuan untuk membayar setumpuk sawo jualan mbah Painem. Wajahnya tampak gusar, lihat kiri kanan deretan pedagang di sepanjang jalan. Sudah kutebak pasti kesulitan cari tukar untuk kembalian. Bukan maksud nambah susah beliau, tapi memang kebetulan uang di dompet semua lembarannya sama. Aku bilang bahwa uang kembaliannya untuk mbah Painem. Tanganku dijabat erat dengan tatapan penuh kasih sayang, “Terima kasih nak, saya jadi makin rindu pada anak saya yang jadi dokter luar pulau. Harsono namanya, sangat mirip wajah dan postur tubuhnya dengan panjenengan, ” kata mbah Painem. Bagai sambaran petir di siang bolong, menyadarkanku tentang arti perjuangan dan kasih sayang orang tua pada anaknya.
Mojokerto, 21 /6/2020